Kisah Kyai Pamungkas:

KISAH MISTIK DI BALIK KEINDAHAN TELAGA SARANGAN

TEMPAT REAKSI YANG MENJADI SALAH SATU IKON PARIWISATA JAWA TIMUR INI, DISEBUT-SEBUT ADA PENGUASA GAIBNYA, YAKNI BERUPA DUA EKOR NAGA RAKSASA. MENURUT LEGENDA, DUA NAGA RAKSASA ITU DULUNYA JUGA DARI BANGSA MANUSIA YANG TIBA-TIBA BERUBAH WUJUD SETELAH MEMAKAN TELUR MILIK RAJA NAGA ANTABOGA. SEPERTI APAKAH KISAH TERSEBUT DAN SEJAUH MANAKAH KEBENARANNYA? BERIKUT INI HASIL JELAJAH PARANORMAL-INDONESIA.COM DI LOKASI TERSEBUT….

DI SISI timur perut Gunung Lawu yang menjadi perbatasan antara Jawa Timur dengan Jawa Tengah, ada sebuah telaga yang cukup indah. Selain indah, karena letaknya di sisi perut gunung, maka udara sejuk selalu menyelimuti sekitar telaga. Lebih-lebih jika hari sudah mulai siang, kabut tebal menambah indahnya suasana telaga.

Sarangan, demikianlah nama telaga yang masuk wilayah Kabupaten Magetan, Jawa Timur tersebut. Seperti tempat rekreasi lain pada umumnya, setiap hari besar atau libur, ribuan pengunjung memadati area telaga Sarangan.

Lebih-lebih jika musim libur sekolah . Setiap harinya, tak kurang dari 2000 pengunjung dari berbagai daerah yang datang Sarangan Bahkan restribusi masuk Sarangan merupakan penunjang pendapatan asli daerah (PAD) terbesar dibandingkan dengan pendapatan asli daerah dari sektor lain.

Di sekitar telaga Sarangan, telah dibangun puluhan hotel yang siap digunakan untuk menginap bagi para tamu yang datang dari luar kota. Bahkan tak jarang, di tempat ini dijadikan lokasi event tertentu dengan skala nasional.

Namun pada umumnya, para wisatawan domestik, lebih-lebih yang dari mancanegara, tak mengetahui asal-usul terjadinya telaga Sarangan serta nuansa mistik yang menyelimutinya. Bagaimana sebenarnya legenda terjadinya telaga Sarangan dan nuansa mistik apa yang ada di sana?

Menurut juru kunci telaga Sarangan, Atmo pimun, 75 tahun, untuk mengetahui legenda terjadinya Telaga Sarangan, harus membuka lembaran sejarah kerajaan Mataram Hindu yang diawali dengan kerajaan Kalingga.

Sekitar abad VI, di Jawa Tengah berdiri sebuah kerajaan Hindu dengan nama Kalingga. Namun tak jelas silsilah raja-raja yang pernah memerintah di Kalingga. Tapi sejarah mencatat, kerajaan Kalingga mencapai puncak keemasannya ketika tampuk pimpinan dipegang oleh seorang ratu bernama Ratu Sima.

Pada zamannya, Kalingga terkenal hingga ke negeri Cina. Sedangkan bangsa Cina, menyebut nama Kalingga dengan sebutan He-Ling, Dan kira-kira tahun 700-an, nama besar Kerajaan Kalingga sudah tak terdengar lagi. Bersamaan dengan tenggelamnya nama Kalingga, di Jawa Tengah muncul kerajaan baru. Yakni Mataram Hindu.

Berdasarkan prasasti Canggal yang ditemukan di daerah Kedu, Jawa Tengah, raja Mataram Hindu yang kali pertama memerintah yakni Sanjaya yang lebih dikenal dengan sebutan Rakai Mataram. Artinya, penguasa Mataram Hindu. Sanjaya memerintah sekitar tahun 730 M.

Para ahli purbakala dan sejarah, memperkirakan pusat kerajaan Mataram Hindu saat itu berada di Medangkamulan (Semarang). Pada masa pemerintahan Sanjaya, kekuasaannya meliputi wilayah Sunda, Bali dan sebagian Sumatera. Sekitar 30 tahun memerintah di Mataram Hindu, Sanjaya mangkat dan digantikan oleh puteranya, Pancapana Raksi Panangkaran.

Sejak tampak kekuasaan dipegang Panangkaran inilah, perlahan tapi pasti, kewibawaan Mataram Hindu mulai surut. Terbukti, banyak adipati yang berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Mataram Hindu. Terutama para Adipati pesisir selatan.

Dengan dipimpin oleh Adipati Kedu, Panangkara yang merupakan dinasti Sanjaya digulingkan Syailendera. Sekitar tahun 775 M, wangsa Syailendera yang ganti berkuasa di Mataram Hindu. Sedangkan wangsa Sanjaya, mau tak mau harus mempertuankan wangsa Syailendera.

Pada masa pemerintahan wangsa Syailendera inilah, candi-candi yang sekarang cukup dikenal dibangun, diantaranya adalah candi Kalasan, candi Borobudur, candi Sewu serta candi Mendut. Peninggalan bersejarah itu dibangun ketika Mataram Hindu dipimpin oleh Prabu Samaratungga yang memerintah Mataram Hindu mulai tahun (812-833).

Raja Samaratungga, merupakan satu-satunya penguasa Mataram Hindu yang menganut ajaran Budha. Karena itu, Samaratungga membangun candi Borobudur. Sedangkan wangsa Syailendera yang pernah memerintah di Mataram Hindu, antara lain, prabu Bhanu (752-775), Prabu Wisnu (775-782), prabu Indra (182-812), Samaratungga (812-833), serta Balaputeradewa yang memerintah mulai tahun 833 hingga tahun 857 M.

Sementara itu, di pihak wangsa Sanjaya, secara diam-diam menyusun kekuatan untuk menggulingkan wangsa Syailendera untuk mengembalikan tahta Mataram Hindu kepada wangsa Sanjaya. Adalah Rakai Pikatan, yang berhasil merebut tahta Mataram Hindu dari wangsa Syailendera.

Dengan begitu, secara otomatis, sejak tahun 856, Mataram Hindu kembali dikendalikan oleh wangsa Sanjaya. Namun tak lama setelah berhasil menggulingkan wangsa Syailendera yang saat itu dipegang oleh Balaputeradewa, Rakai Pikatan mangkat. Raja ini kemudian digantikan oleh puteranya, Rakai Kayuwangi.

Berturut-turut, pengganti Rakai Kayuwangi adalah, Watuhumalang, Balitung, Prabu Daksa, Tulodong serta yang terakhir Prabu Wawa. Pada masa akhir kerajaan Mataram Hindu di bawah pimpinan Prabu Wawa ini, ada dua orang Mpu yang dikenal cukup sakti. Keduanya adalah Mpu Sendok yang setelah Mataram Hindu runtuh mendirikan kerajaan Hindu pertama di Jawa Timur, kerajaan Medang. Dan satunya lagi bernama Mpu Pasir.

Saat Mataram Hindu runtuh, kedua orang Mpu sakti ini sama-sama pergi ke arah timur. Namun, ketika sampai di Gunung Lawu, Mpu Pasir memilih menetap di gunung itu. Sedangkan Mpu Sendok terus melanjutkan perjalanannya. Selain kedua orang itu, turut pula isteri Mpu Pasir dan putera tunggalnya yang bernama Joko Lelung.

Ketiga orang ini, ketika tinggal di Gunung Lawu sisi timur, hidup sebagai rakyat jelata dan hanya mengandalkan hidup dari bercocok tanam serta buah-buahan yang tumbuh di hutan Gunung Lawu yang saat itu lebih dikenal dengan nama hutan Saranggonggangan.

Karena kedua orang tuanya sudah tua, hampir setiap hari Joko Lelung keluar masuk hutan Gunung Lawu untuk mencarikan makanan bagi kedua orang tuanya sebelum hasil cocok tanam mereka bisa dipanen. Mungkin karena kelelahan, ketika di dalam hutan Joko Lelung pun beristirahat di dalam sebuah goa.

Saat berada di dalam goa inilah, secara tak sengaja Joko Lelung menemukan dua buah telur yang ukurannya cukup besar. Kedua telur Ini kemudian dibawa pulang. Setelah direbus, telur tadi kemudian diberikan kepada ayah ibunya. Setelah memberikan telur kepada kedua orang tuanya, kemudian, Joko Lelung kembali masuk ke dalam hutan untuk mencari buah-buahan.

Saat menjelang sore, Joko Lelung baru kembali ke gubuk tempat tinggalnya Tapi alangkah terkejutnya Joko Lelung, ketika tiba di gubuknya kedua orang tuanya sudah tidak ada di tempat Padahal biasanya tak seperti itu. Karena itulah, Joko Lelung langsung mencari kedua orang tuanya ke ladang. Tapi walau telah dicari kemana-mana, tetap saja Mpu Pasir dan Nyi Pasir tidak berhasil diketemukan.

Pencarian kemudian dilanjutkan ke sebuah mata air kecil yang tak jauh dari gubuk tempat tinggalnya. Pikir Joko Lelung saat itu, siapa tahu kedua orang tuanya mandi di mata air yang memang biasa digunakan mereka untuk mandi. Begitu sampai di mata air yang dimaksud, alangkah terkejutnya Joko Lelung. Pasalnya, mata air yang semula kecil itu telah berubah menjadi hamparan telaga yang cukup luas.

Tak hanya itu yang membuat Joko Lelung terkejut. Di pinggir telaga, tampak ada dua ekor ular naga yang ukurannya cukup besar. Begitu melihat dua ekor naga tersebut, sebenarnya Joko Lelung berusaha untuk lari menjauh. Namun saat dirinya akan menggerakkan kakinya, tiba-tiba ada suara yang menyapanya. Ternyata, suara itu datangnya dari arah telaga yang baru jadi.

Dan yang lebih mengherankan Joko Lelung, yang memanggil namanya tak lain adalah dua naga yang berada di tepi telaga itu. Dan kepada Joko Lelung, kedua naga itu mengaku sebagai kedua orang tuanya.

Mendapat pengakuan dan dua naga yang mampu berbicara layaknya manusia ini, Joko Lelung masih kurang percaya.

Mendapati keraguan pada diri putera tunggalnya, kemudian salah satu naga yang merupakan jelmaan Mpu Pasir langsung memberikan penjelasan kepada puteranya kenapa dirinya dan Nyi Pasir bisa berubah menjadi dua ekor naga dan mampu menjadikan mata air kecil berubah jadi telaga yang cukup luas.

Ceritanya, usai makan dua telur pemberian dari Joko Lelung yang didapat dari dalam goa, tiba-tiba tubuh Mpu Pasir dan Nyi Pasir terasa gatal dan panas. Karena itu, kemudian keduanya pergi ke mata air untuk berendam guna menghilangkan rasa panas pada tubuh mereka. Namun walau begitu, rasa panas tetap saja menyelimuti tubuh mereka. Bahkan rasa gatal justru makin menjadi-jadi. Karena menahan rasa gatal yang amat sangat inilah kemudian keduanya berguling-guling di mata air itu. Pada saat keduanya berguling-guling tiba-tiba di sekujur tubuh mereka tumbuh sisik seperti ular.

Karena rasa gatal belum juga ilang termasuk hawa panas yang menyelimuti keduanya, Mpu Pasir dan Nyi Pasir terus saja berguling-guling Hingga pada akhirnya mereka, tiba-tiba berubah ujud menjandi 2 naga. Dalam hitungan menit, tubuh mereka yang sudah berbentuk naga sepenuhnya langsung membesar sebesar batang pohon kelapa.

Karena rasa panas dan gatal tetap saja belum hilang, maka, kedua naga raksasa, terus berguling-guling. Hingga pada akhirnya,mata air yang semula hanya kecil, saat itu langsung berubah menjadi telaga. Karena lokasi di mana mereka berguling-guling ini bernama, Saranggonggangan, atas pesan Mpu Pasir kepada puteranya, maka telaga baru tersebut diberi nama Sarangan.

Setelah memberi penjelasan seperti itu kepada puteranya, kemudian Mpu Pasir dan isterinya meminta kepada Joko Lelung agar tetap tingal di tepi telaga. Sejak saat itu, setiap hari Joko Lelung selalu bersemedi memohon kepada Tuhan agar kedua orang tuanya sembuh seperti sediakala.

Namun hingga bertahun-tahun lamanya keadaan kedua orangtuanya tetap saja tak berubah. Karena itu, kemudian Joko Lelung pergi mengembara meninggalkan kedua orangtuanya yang telah berubah wujud menjadi dua ekor naga raksasa. Dan tempat Joko Lelung pernah laku semedi selama bertahun-tahun sekarang lebih dikenal dengan sebutan, Punden Jalatung. Lokasinya di sisi timur telaga Sarangan.

Setelah sekian lama pergi mengembara untuk mencarikan obat kedua orang tuanya tidak berhasil, akhirnya Joko Lelung kembali lagi ke telaga. Dan lagi-lagi, putera tunggal Mpu Pasir ini melakukan semedi di tepi telaga untuk meminta kesembuhan bagi kedua orang tuanya kepada Tuhan.

Hingga pada akhirnya, di saat melakukan semedi, Joko Lelung mendapatkan bisikan gaib. Pada intinya, bisikan gaib itu mengatakan jika kedua orang tuanya tak bisa lagi berubah wujud atau kembali seperti manusia. Pasalnya, menurut bisikan gaib tadi, telur yang didapat Joko Lelung di dalam goa dan dimakan oleh kedua orang tuanya, merupakan telur milik raja naga yang bernama Antaboga yang juga penguasa bumi. Dan semua itu, sudah menjadi kehendak Sang Hyang Widi Wasa.

Tapi walau telah mendapatkan bisikan gaib seperti itu, Joko Lelung tetap nekad melanjutkan semedinya. Hingga pada akhirnya, Joko Lelung muksa saat melakukan semedi di tepi telaga Sarangan. Kini, tempat di mana Joko Lelung muksa, di punden Jalelung, setiap tahunnya diadakan penghaturan sesaji bersamaan dengan larung sesaji di Telaga Sarangan.

Sedangkan harinya, ditentukan pada hari Jum’at Pon di bulan September. Acara larung sesaji di telaga Sarangan dan penghaturan sesaji di punden Jalelung ini dikemas dalam nuansa wisata. Sedangkan yang menjadi penyelenggara adalah Dinas Pariwisata Kabupaten Magetan.

Kembali ke cerita Mpu Pasir da Nyi Pasir yang telah berubah ujud menjadi dua ekor ular naga raksasa, karena merasa khawatir atas perwujudan barunya itu diketahui orang, karena saat itu di Gunung Lawu banyak pertapa, kemudian keduanya bermaksud mencari tempat persembunyian yang baru.

Mereka kemudian pergi turun kearah timur. Baru turun sekitar dua kilometer dari telaga Sarangan, keduanya menemukan tempat baru yang juga berwujud telaga. Karena merasa cocok, kemudian keduanya memilih menetap di telaga tersebut.

Namun belum lama tingal di telaga itu, secara tak sengaja, ada orang yang memergoki mereka. Kedua naga jelmaan Mpu Pasir dan Nyi Pasir ini langsung marah seraya mengeluarkan kata-kata kutukan. Pada intinya, mereka mengutuk, “Siapapun kelak yang berani datang ke telaga itu, maka segala yang dicita-citakan akan gagal”. Seperti halnya mereka gagal dalam mencari persembunyian baru. Karena itulah, sekarang telaga di mana kedua naga itu bersembunyi dan ketahuan manusia, kini diberinama Telaga Wurung, yang berarti gagal.

Karena kutukan dari dua naga inilah, hingga saat ini, tak seorangpun yang berani berpacaran di telaga Wurung. Lebih-lebih pasangan suami isteri yang ingin bersantai. Karena pada umumnya, mereka khawatir jika yang berpacaran takkan bakal sampai ke pelaminan. Begitu juga dengan mereka yang telah menikah. Takut cerai.

Lokasi telaga Wurung sekitar dua kilometer sebelum tiba di telaga Sarangan, letaknya ada di tepi jalan di sisi kiri. Padahal sebenarnya, pihak Dinas Pariwisata kabupaten Magetan berusaha menghilangkan imej mitos yang ditakuti oleh masyarakat ini dengan cara membangun segala macam sarana dan prasarana untuk bersantai.

Namun tetap saja, tempat-tempat untuk bersantai yang dibangun di telaga Wurung, tak pernah digunakan oleh pengunjung. Jangankan hari-hari biasa, hari Minggu saja tempat-tempat santai di telaga Wurung tak ada yang berani menyambanginya.

Kembali ke cerita marahnya kedua naga setelah ketahuan manusia saat bersembunyi di telaga Wurung, mereka kemudian kembali menuju ke telaga Sarangan. Sesampainya di telaga hasil ciptaannya ini, agar tidak diketahui oleh manusia, kemudian keduanya memilih tinggal di pulau kecil yang ada di tengah telaga.

Disebut-sebut pula, kedua naga jelmaan dan Mpu Pasir dan Nyi Pasir ini juga membuat lubang semacam goa di bawah pulau untuk tempatnya bertapa. Menurut juru kunci lagi, hingga saat ini, kedua sosok naga raksasa yang telah berubah menjadi sosok gaib, masih tetap tinggal di pulau kecil yang ada di tengah telaga Sarangan.

“Karena itulah, mengapa setiap tahun diadakan labuh sesaji di telaga Sarangan. Sesaji itu memang sengaja dipersembahkan untuk kedua penguasa gaib telaga Sarangan yang berujud dua ekor naga raksasa yang merupakan jelmaan Mpu Pasir dan Nyi Pasir. Kalau sesaji di punden Jalelung, diperuntukkan bagi Joko Lelung yang muksa saat melakukan semedi di tempat itu” terang juru kunci yang memandu Paranormal-Indonesia.com.

Masih menurut penuturan juru kunci, setiap malam bulan purnama kasa, di sekitar pulau kecil yang ada di tengah telaga, siapapun dapat menyaksikan gelembung air yang cukup besar dan banyak berasal dari bawah. Kejadian seperti itu, oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai tanda kedua naga raksasa tadi naik ke atas pulau dari tempat pertapaannya di dalam goa yang ada di bawah pulau kecil tersebut.

“Pokoknya tiap malam bulan purnama kasa, di sekitar pulau pasti ada gelembung air yang cukup besar dan jumlahnya banyak. Itu merupakan pertanda jika kedua naga penguasa gaib telaga Sarangan, naik ke atas pulau,” pungkasnya. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: dukunku.com
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)