karena gw sedikit gak yakin bakal bisa menceritakan setiap detail apa yang beliau alami,
sebuah cerita tentang pengalaman beliau selama KKN, di sebuah desa penari.
sebelumnya, penulis tidak mendapat ijin untuk memposting cerita ini dari yang empunya cerita, karena beliau memiliki ketakutan sendiri pada beberapa hal, yang meliputi kampus, dan desa tempat KKN di adakan.
jadi buat teman-teman yang membaca cerita ini, yang mungkin tahu, atau merasa familiar dengan beberapa tempat yang meski di samarkan ini, di mohon, untuk diam saja, atau merahasiakan semuanya, karena ini sudah menjadi janji penulis dan pemilik cerita.
semua anak angkatan 2005/06 sudah hampir merampungkan persyaratan untuk mengikuti KKN yang di lakukan dibeberapa desa sebagai syarat lanjutan untuk tugas skripsi.
dari semua wajah antusias itu di kampus, terlihat satu orang tampak menyendiri.
ia tampak begitu gugup, menyepi, menyendiri, sampai panggilan telepon itu membuyarkan lamunanya.
“aku wes oleh nggon KKN ‘e” (aku sudah dapat tempat untuk KKN) kata di ujung telpon.
wajah muram itu, berubah menjadi senyuman penuh harap
“nang kota B, gok deso kabupaten K***li** , akeh proker, tak jamin, nggone cocok gawe KKN” (di kota B, disebuah desa di kabupaten K*******, banyak proker untuk di kerjakan, tempatnya cocok untuk KKN kita)
saat itu juga, Widya segera mengajukan prop KKN
“tenang” kata Ayu, perempuan yang tempo hari memberi kabar tempat KKN yang ia observasi bersama abangnya.
“sopo sing gabung Nur?” (siapa yang sudah gabung Nur?) tanya Ayu,
“temenku. kating, 2 angkatan di atas kita, satunya lagi, temanya”
surat keputusan KKN sudah disetujui semuanya, terdiri dari 2 fakultas dengan proker kelompok dan individu, untuk pengabdian di masyarakat yang akan di adakan kurang lebih sekitar 6 minggu.
hanya tinggal menunggu, pembekalan sebelum keberangkatan.
“gak onok nggon liyo, lapo kudu gok Kota B,” (apa gak ada tempat
namun setelah Widya menejelaskan, bahwa sebelumnya sudah dilakukan observasi,-
“Perasaane ibuk gak enak, opo gak isok di undur setahun maneh” (perasaan ibu gak enak, apa tidak bisa di undur satu tahun lagi)
Widya enggan melakukanya, maka, meski berat, kedua orangtuanya pun terpaksa menyetujuinya.
Widya, Ayu, Bima dan Nur, matanya melihat ke sekeliling, khawatir, 2 orang yang seharusnya ikut pembekalan belum juga terlihat batang hidungnya, sampai, menjelang siang, 2 orang muncul, menyapa dan memperkenalkan dirinya di depan mereka.
setelah basa basi, bertanya seputar rencana KKN dari A sampai Z selesai, mereka akhirnya berangkat.
“Numpak opo dik kene??” (naik apa kita nanti?) kata Wahyu.
“Elf mas” jawab Nur.
“sampe deso’ne numpak Elf dik?” (sampai desanya naik mobil Elf dik?)
mendengar itu, Widya bertanya ke Ayu. “Yu, Deso’ne ra isok di liwati Mobil ta?” (Yu, apa desanya gak bisa di masuki mobil”
disinilah. cerita ini di mulai.
rupanya, yang mengantar adalah 6 lelaki paruh baya, dengan motor butut.
“cuk. sepedaan tah” kata Wahyu, spontan, saat itu ada yang aneh
hanya saja, yang memperhatikan semua sedetail itu, hanya Widya seorang. apapun itu, semoga bukan hal yang buruk.
sudah hampir satu jam lebih, tapi motor masih berjalan lebih jauh ke dalam hutan
di tengah perjalanan, tidak satupun dari pengendara motor itu yang mengajaknya bicara, aneh. apa semua warga disana pendiam semua.
kini, rasa menyesal sempat terpikir di pikiran Widya, apakah ia siap, menghabiskan 6 minggu ke depan, di sebuah Desa, jauh di dalam hutan.
suara familiar, dengan tabuhan kendang dan gong, di ikuti suara kenong, kompyang, mebaur menjadi alunan suara gamelan.
apa ada yang sedang mengadakan hajatan di dekat sini.
sampailah mereka di Desa W****, tempat mereka akan mengabdikan diri selama 6 minggu ke depan.
“mrene rek” teriak Ayu, di sampingnya berdiri seorang pria, wajahnya tenang, dengan kumis tebal, mengenakan kemeja batik khas ketimuran, ia berdiri seolah sudah menunggu sedari tadi.
“pelosok yok nopo toh mbak, Jarak ke dalan gede cuma setengah jam kok”
(pelosok bagaimana-
tatapan bingung Widya, disambut tatapan bertanya oleh semua temanya, seolah pertanyaanya kok membingungkan.
“mbak’e paling pegel, wes, tak anter nang ndi sedoyo bakal tinggal” (mbaknya mungkin capek, jadi, mari, tak-
di tengah kebingungan itu, Ayu menegur Widya. “maksudmu opo to Wid, takon koyok ngunu? garai sungkan ae” (maksudnya bagaimana tah Wid, kok kamu tanya seperti itu, buat saya sungkan saja kamu)
di situ, Widya menyadari, ada yang salah.
sedangkan untuk perempuan, menginap di salah satu-
di dalam kamar, Widya pun bertanya, maksud ucapanya kepada pak Prabu, karena sepanjang perjalanan, bila di rasakan oleh Widya sendiri, itu lebih dari satu jam, Ayu membantah bahwa lama perjalanan tidak sampai selama itu, anehnya, Nur memilih tidak ikut berdebad.
“yo paling onok hajatan lah, opo maneh” (ya palingan ada warga yang mengadakan hajatan, apalagi)
berbeda dengan Ayu,-
sembari berbicara lirih, Nur yang seharusnya paling ceria di antara mereka berkata. “Mbak, ra onok Deso maneh nang kene, gak mungkin nek onok hajatan, nek jare wong biyen, krungu gamelan nang nggon kene, iku pertanda elek”
“Nur, ra usah ngomong aneh-aneh kui, awakmu yo melok observasi nang kene ambek aku, mosok gorong sedino wes ngomong ra masuk akal ngunu” (Nur, jangan ngomong sembarangan kamu-
Ayu pergi, meninggalkan Widya dengan Nur.
saat itu, Nur mengatakanya. “Mbak, aku yo krungu suara gamelan iku” (Mbak, aku juga dengar suara gamelan itu) katanya.
“Astaghfirullah” kata Widya tidak percaya.
Nur menatap nanar Widya, air matanya sudah seperti memaksa keluar, Widya hanya memeluk dan mencoba menenangkanya.
“Banyu semilir mlayu nang etan,” (air selalu mengalir ke arah timur) yang memiliki makna, bahwa timur adalah tempat dimana semua di kumpulkan menjadi satu, antara yang buruk dan yang paling buruk, dan kini, Widya harus tinggal di hutan paling timur
mungkin Nur lebih sensitif.
(Nur, bisa gak cerita ini jangan sampai menyebar ke teman-teman)
Nur mengangguk, meski enggan menjawab kalimat Widya, dan malam itu, tanpa terasa di lewati begitu saja.
mendengar itu, Wahyu menimpali. “iku lo, rungokno bapak’e, walaupun wong deso, gak lali kuliah”
Wahyu melanjutkan. “bapake ambil apa dulu? perhutanan ya?”
“bukan” kata beliau santai. “pertanian”
“Lah ra onok sawah nang kene, piye toh pak” (lah, disini gak ada sawah, gimana sih pak?)
jawaban pak Prabu sontak membuat tawa pecah, Widya melirik Nur, dia sudah bisa ceria lagi, melupakan sejenak kejadian semalam.
sampailah, mereka di pemberhentian pertama. sebuah pemakaman desa.
itu yang pertama kali di pikirkan Widya, atau mungkin serombongan orang. di setiap Nisan, di tutup oleh kain hitam.
pemakamanya sendiri, di kelilingi pohon beringin, dan di setiap pohon beringin, ada batu besar di sampingnya, disana, ada lengkap, sesajen di depanya.
“ngapunten pak, niki nopo nggih kok” (mohon maaf pak, ini kenapa ya kok)
“saya tau, apa yang adik mau katakan, pasti mau tanya, kok patek (nisan) nya, di tutupi pakai kain, gitu to?”
Widya mengangguk. rombongan menatap serius pak Prabu, terkecuali Wahyu dan Anton, terdengar mereka sayup tertawa kecil
pak Prabu yang awalnya tersenyum penuh dengan candaan, tiba-tiba diam, raut wajahnya berubah dan tak tertebak.
“semoga saja, kalain tahu yang di omongkan ya”
“mongo pak, bisa lanjut ke tempat selanjutnya”
Ayu dan Widya sudah memetakan semua yang pak Prabu tunjukkan, memberinya sampel warna merah sampai biru, dari yang paling di utamakan sampai yang paling akhir di kerjakan.
namun, tetap saja. selama perjalanan, Widya banyak menemukan keganjilan.
Nur, setelah dari Sinden, ia ijin kembali ke rumah, karena badanya tidak enak, dengan sukarela Bima yang mengantarkanya, jadi, observasi hanya di lakukan oleh 4 orang saja.
“Tipak talas” kalau kata pak Prabu. sebuah batas dimana rombongan anak-anak di larang keras melintasi sebuah setapak jalan yang di buat serampangan, di kiri kanan, ada kain merah lengkap di ikat oleh janur kuning layaknya pernikahan
pak Prabu diam lama, seperti sudah mempersiapkan jawaban namun ia enggan mengatakanya.
“iku ngunu Alas D****** , gak onok opo-opo’ne, wedine, nek sampeyan niki nekat, kalau hilang, lalu tersesat bagaimana?”
sekali lagi, jawaban itu cukup membuat Widya yakin itu bukan yang sebenarnya. namun, perasaan merinding melihat jalanan setapak itu, nyata.
jadi cuma ngasih tau. cerita ini sangat panjang, karena gw harus menulis sedetail mungkin setiap kejadian selama 6 minggu itu. gw gak mau kehilangan setiap detail pengalaman si pencerita.
btw, waktu denger ini, gw itu lemes tiap ingat waktu di ceritain lebaran lalu
ketika kembali, Wahyu dan Anton bertanya, dimana kamar mandi, ia tidak menemukan tempat itu di tempat mereka menginap, rupanya, setiap rumah di desa ini tidak ada satupun yang punya kamar mandi.
tapi, pak Prabu menjelaskan, di bagian selatan Sinden, samping sungai, ada sebuah bilik dengan kendi besar di dalamnya, disana, bisa di gunakan untuk mandi.
untuk laki-laki, bisa mengisi air di kendi dengan cara menimba air dari sungai.
sekembalinya ke penginapan, Widya melihat Nur tengah tidur, hari itu di akhiri dengan rapat dengan semua anak, lalu kembali ke kamar untuk mengerjakan laporan.
Nur sudah bangun, saat itu juga, Widya memintanya untuk mengantarkan dirinya pergi ke kamar mandi di bilik samping Sinden, awalnya Nur tampak tidak mau, tapi karena di paksa, kahirnya ia pun ikut dengan catatan, Nur adalah yang pertama masuk bilik.
selama perjalanan, ia melihat setiap rumah yang di lewati, rata-rata sama, semua rumah tepan (tembok di depan) kiri-kanan dari gedek (bambu dianyam), langit sudah merah, dan setelah menempuh jarak lumayan, akhirnya mereka sampai di Sinden
sempet ragu, tapi Widya bilang lanjut.
air juga sudah penuh di dalam kendi, Nur pun masuk, sementara Widya menunggu di depan bilik, matanya tidak bisa melepaskan diri dari bangunan Sinden yang entah kenapa seolah menarik perhatianya, di sampingnya, ada sesajen itu.
antara takut dan kaget, Widya kembali ke pintu bilik, dan dari dalam, sudah tidak terdengar suara air bilasan.
“Nur” “Nur” teriak Widya sembari menggedor pintu kayu, anehnya, hening, tidak ada jawaban dari dalam.
suara orang sedang berkidung.
kidungnya sendiri menyerupai kidung jawa, suaranya sangat lembut, lembut sekali seperti seorang biduan.
“nyapo to, Wid?” (kanapa sih Wid?)
ekspresi ganjil Widya membuat Nur kebingungan, terlebih mimik wajahnya mencuri pandang bag dalam bilik
kaget, Widya sudah ragu, melihat samping Bilik ada sesajen, Widya tidak tau apa harus cerita ke Nur soal itu, namun dengan ragu, Widya akhirnya bergegas masuk bilik, menutup pintu.
suasananya seperti ada sosok yg melihat dan mengamatinya, dari ujung rambut hingga ujung kaki, sosok itu seperti wajah seorang wanita nan cantik jelita, masalahnya, Widya tidak tau siapa pemilik wajah
sunyi, sepi, Nur tidak bersuara di luar bilik, memberikan sensasi kesendirian yang membuat bulukuduk merinding.
siapa pemilik wajah cantik itu?
kemudian, kidung itu terdengar lagi, Widya berbalik, mengamati,
pertanyaan itu, menancap keras di kepala Widya.
“Nur, awakmu isok kidung jawa ya?” (Nur, kamu bisa bersenandung lagu jawa ya?)
Nur mengamati Widya, kemudian, ia diam.
Widya masih teringat kejadian sore tadi.
di tengah keheningan mereka menggarap progres, tiba-tiba Ayu mengatakan sesuatu yang membuat Widya tertarik.
Widya terdiam beberapa saat, memproses kalimat Ayu
“Loh, awakmu kan wes reti nek gak oleh mrunu!!” (Loh, bukanya kamu sudah mengerti dilarang berada disana)
“guguk aku” (bukan aku) bela Ayu, iku ngunu Bima sing ngajak.
“cah iki, yo kan aku ngejar Bima, opo di umbarke ae cah kui ngilang!!” (anak ini, kan saya mengejar Bima, apa di biarkan saja anak itu nanti hilang)
perdebadan mereka berhenti sampai disana, namun perasaan itu.
tiba-tiba terdengar langkah kaki saat Widya melihat apa yang terjadi, bayangan Nur melangkah keluar
rumah sudah gelap gulita, sang pemilik rumah tampaknya sudah terlelap di dalam kamarnya, di depan Widya, pintu rumah sudah terbuka lebar, dengan perlahan, Widya melangkah kesana.
Widya, termengu mematung melihat temanya seperti itu. ragu, Widya mendekatinya. tak pernah terfikirkan Nur bisa menari seperti ini.
dari jauh, sayup sayup, kendang terdengar lagi, Widya semakin di buat takut,
kaki seperti ingin lari dan melangkah masuk rumah, tapi Nur semakin menggila, ia masih menari dengan senyuman ganjil di bibirnya.
sorot matanya tajam, dengan mata nyaris hitam semua. Widya menjerit sejadi-jadinya.
Wahyu.
Widya melihat Wahyu yang menatapnya dengan tatapan bingung plus takut.
“bengi bengi lapo As* nari-nari gak jelas nang kene!!” (malam-malam ngapain anji*g!! nari sendirian-
jeritan Widya rupanya membangunkan semua orang, termasuk si pemilik rumah, Widya melihat sorot mata semua orang memandangnya, tak terkecuali Nur yang rupanya baru saja keluar dari dalam rumah.
kejadian itu, diakhiri dengan cerita Wahyu
si pemilk rumah, berjanji akan menceritakan ini kepada pak Prabu.
namun malam itu, benar-benar Malam yang gila, seolah-olah menjadi pembuka rangkaian kejadian yang akan mereka hadapi di sela tugas KKN mereka ke dalam situasi yang paling serius.
hari itu, pak Prabu meminta Widya, Ayu dan Wahyu, menemaninya
dengan berbekal motor butut yang tempo hari digunakan untuk mengantar mereka masuk ke desa ini, kali ini di gunakan untuk mengantar mereka ke rumah seseorang.
Wahyu dengan Widya, Pak Prabu berboncengan dengan Ayu.
melintasi jalan besar, lalu masuk lagi ke sebuah jalan setapak buatan, Rumahnya bagus, malah bisa di bilang paling bagus di bandingkan rumah orang2 desa, hanya saja, rumah itu berdiri di tengah sisi hutan belantara lain.
di depan rumah, ada orang tua, kakek-kakek, sepuh, berdiri seperti sudah tau bahwa hari ini akan ada tamu yang berkunjung.
dengan suara serak, mbah Buyut pergi kedalam rumah, beliau kembali dengan 5 gelas kopi yang di hidangkan di depan mereka.
melihat itu, Widya menolak, mengatakan dirinya tidak pernah meminum kopi, namun senyuman ganjil mbah Buyut membuat Widya sungkan, yang akhirnya berbuntut ia meneguk kopi itu meski hanya satu tegukan saja.
tidak hanya Widya, semua orang di tegur agar mencicipi kopi buatan beliau, katanya “tidak baik menolak pemberian tuan rumah”
semua akhirnya mencobanya
anehnya, Pak Prabu meneguk kopi itu biasa saja.
ia menunjuk Widya tepat didepan wajahnya, mimik wajahnya sangat serius.
sebelum mereka pulang, mbah Buyut memberi kunir tepat di dahi Widya, katanya untuk menjaga Widya saja.
kunjungan itu sama sekali tidak di ketahui tujuanya, selama perjalanan, pak Prabu bercerita, tentang kopi.
namun pak Prabu segera mengatakan hal lain. “sepurane sing akeh nduk, sampeyan onok sing ngetut’i” (mohon maaf ya nak, kamu, ada yang mengikuti)
pertemuan itu juga di minta untuk tidak di ceritakan ke siapapun lagi, bahkan Nur, Anton dan Bima.
Anton awalnya tidak setuju mereka pindah, karena atmoser rumahnya yang memang tidak enak dan itu bisa terlihat dari luar, namun ini, perintah dari pak Prabu
Widya paham akan hal itu, namun Wahyu sebaliknya, ia mendekati Widya dan memberi semangat agar tidak mencerna mentah2 pesan orang tua itu.
disini, Wahyu bercerita kejadian yang tidak ia ceritakan di malam kejadian itu.
“maksud’e mas?”
“cah iku, ben bengi metu Wid, emboh nang ndi, trus biasane balik-balik nek isuk, opo garap proker tapi kok bengi?”
“ra paham aku mas” (gak ngerti aku mas)
“trus” kata Wahyu “aku sering rungokno, cah iku ngomong dewe nang kamar”
“ra mungkin tah mas” (gak mungkin lah mas)
“sumpah!!” “gak iku tok, kadang, cah iku koyok ngguyu-nggyu dewe, stress palingan” (gak cuma itu, kadang dia tertawa sendirian, gila kali anak itu)
“yo wes, takono Anton nek ra percoyo, bengi sak durunge aku eroh awakmu nari, Bima asline onok nang kunu, arek’e ndelok tekan cendelo, paham awakmu sak iki. gendeng cah iku”
Widya diam lama, memproses kalimat itu, ia melihat Wahyu pergi dengan raut wajah kesal.
Widya di ruang tengah sendirian, sedangkan Ayu, Wahyu dan Anton ngobrol di teras rumah, Bima, ada pertemuan dengan pak Prabu.
sebelum, suara kidung terdengar lagi, suaranya dari arah pawon. (dapur)
Pawon rumah ini hanya di tutup dengan tirai, saat Widya menyibak tirai, ia melihat Nur, sedang meneguk air dari kendi, lengkap dengan mukenanya.
mata mereka saling memandang satu sama lain.
“Lapo Wid” (kenapa Wid?) tanya Nur.
Widya masih diam, Nur pun mendekati Widya, sontak Widya langsung lari, dan melihat isi kamar, disana, tidak ada Nur
“lapo kok rame’ne” (kenapa kok rame sekali) tegur Ayu.
“lapo Wid?” Wahyu mendekati
“tanganmu kok gemeteran ngene, onok opo sih” (tanganmu kenapa gemetaran begini, ada apa sih?) tanya Anton.
Nur kembali dengan teko kendi yang tadi, dia memberikanya pada Widya, dan Widya kemudian meneguknya, lalu, tiba-tiba Widya diam lagi, membuat semua orang bingung
semua yang menyaksikanya, beringsut mundur. kaget.
Nur yang melihatnya langsung bereaksi. “aku mau yo ngombe teko kunu, gak eroh aku onok barang ngunu’ne” (tadi aku juga minum dari situ, gak tau ada begituanya)
(kamu di incar ya Wid, kata mbahku, kalau tiba2 muncul rambut)
Nur, kemudian mengatakanya
“Wid, opo penari iku jek ngetuti awakmu, soale ket wingi aku wes ra ndelok gok mburimu maneh”(Wid, apa penari itu masih ngikutin kamu, soalnya dari kemarin aku belum lihat dia di belakangmu)
semua di mulai ketika, ia hanya berbaring di atas tikar, Ayu dan Nur berpamitan akan memulai proker mereka
suara itu terdengar ada di belakang rumah, tepat di samping pawon (dapur), maka Widya pergi kesana, saat ia sampai di pintu pawon, yang terbuat dari kayu, Widya berhenti, di sela2 pintu, Widya mengintip
ketakutan, tiba-tiba terasa di dalam diri Widya, kemudian, selang beberapa menit, bapak itu pergi meninggalkan tempat itu.
sesaat, ketika si bapak sudah berdiri di depan pintu pawon, suara itu mengejutkanya
sehingga si bapak panik dan pergi, Widya ikut pergi
namun, pak Prabu mengatakan hal lain yang membuat Widya begidik ngeri,
“sinten pak?” (siapa pak?)
“mbah-mbah sing nunggu nang Watu Item” (kakek-kakek penjaga batu kali itu)
setelah kejadian itu, Widya di minta ke rumah pak Prabu bila masih sakit.
besok saja ya, mohon maaf sekali.
“Melu mboten?” (ikut gak?)
“2 jam” kata Wahyu, “aku wes ijin pak Prabu, oleh nyilih motor’e” (aku sudah ijin pak Prabu, boleh pinjem motornya)
“nggih pon, melu” (ya sudah, ikut)
Wahyu melihat jam di tanganya, pukul 11 lewat, ia harus cepat menyelesaikan urusanya di kota,
dengan wajah tidak tertebak, pak Prabu, mengatakan,
kurang lebih setelah 2 jam,
Wahyu berhenti di pom bensin, ia harus mengembalikan motornya dalam keadaan bensin full, etika ketika meminjam barang orang lain.
jam sudah menunjukkan pukul 4, sudah terlalu sore,
“mboten pak” “kulo KKN ten mriki” (tidak pak, saya hanya KKN disini)
“tetep ae, wong joboh to” (tetap saja, orang luar kan?) kata si penjual, masih melihat Widya dan Wahyu bergantian.
“nek oleh takon, masnya sama mbaknya KKN dimana?”
“Loh, sampeyan berarti mari iki liwat Alas D*********??” (berarti sebentar lagi anda akan lewat di hutan **********??)
“nggih pak” (iya pak)
“ngeten mas, isok kulo nyuwun waktu’ne sampeyan??” (gini mas, bisa saya minta waktunya sebentar)
si penjual cilok, tiba-tiba mengatakan hal itu dengan wajah tegang.
Widya yang sedari tadi memilih diam, hanya mendengarkan saja saat penjual cilok itu menceritakan apa yang harus mereka lakukan saat masuk ke Alas ***********
“ngeten mas” (begini mas) “engken, bade sampun mlebet nang Alas’e sampeyan mlaku ae teros”
“ora usah mandek, utowo ngeladeni opo ae, ngerti ya mas”(gak usah berhenti, apalagi mengurusi hal apapun, sampai sini paham ya mas)
“ojok lali, moco dungo’e sing katah”(jangan lupa doanya yg banyak)
“kulo dongakno sampeyan sampeyan selamet sampai nang Tujuan”(saya doakan kalian selamat sampai tujuan)
tepat ketika langit sudah kemerahan,
Widya, diam seribu bahasa, hal kurang pintar dari manusia sejak dulu kala adalah memikirkan sesuatu yang buruk di kondisi yang buruk yang bahkan tidak seharusnya mereka lakukan manakala Doa bisa saja di kabulkan sewaktu2
sembari mencoba menstarter motor
Widya, menghentikan langkah kakinya, Wahyu yang melihat itu, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang salah. pasti.
“nek sampek awakmu kesurupan, bener-bener parah awakmu, gak isok ndelok sikonku nyurung montor ket mau” (kalau sampai kamu kesurupan,
Widya melihat Wahyu, mata mereka saling memandang satu sama lain.
“yu, krungu ora?? suara mantenan??” (Yu, dengar tidak? ada suara hajatan??)
“Wid, eleng gak, jare wong dodol cilok, nek onok opo-opo lanjut ae” (Wid, inget gak kata penjual cilok, jangan berhenti walau ada apapun, kita lanjut saja)
Wahyu dan Widya, terdiam cukup lama, seperti termenung memastikan bahwa yang mereka lihat, manusia.
“Nopo le” (ada apa nak?) suaranya halus sekali, sangat halus, “sepeda’e mblodok?” (motornya mogok?)
Wahyu dan Widya hanya mengangguk, pasrah.
suanasanya ramai, semua orang sibuk dengan urusanya sendiri2
“aku ra eroh nek onok kampung nang kene?” (aku tidak tau ada kampung disini?)
rupanya, pertanyaan Widya segera terjawab, dari jauh, tiba-tiba tercium aroma melati. aroma yang familiar bagi Widya.
bingung, apakah hanya perasaan saja, mata si penari beberapa kali mencuri pandang pada Widya, ia seperti mengenal penari itu, tapi, tidak ada yang tau siapa si penari, sampai si bapak tua kembali, menawarkan makanan pada mereka
motor mereka sudah bisa di pakai lagi, sebelum pergi, Wahyu dan Widya berpamitan, mereka berterimakasih sudah mau menolong mereka yang kesusahan,
namun, motor Wahyu benar-benar mereka betulkan, dan mereka tulus membantu tanpa meminta apapun,
satu yang coba Widya yakini, mungkin, mereka tidak melihat kampung tadi saja, yang terpenting, di jalan setapak ini, Desa KKN mereka sudah semakin dekat.
“tekan ndi seh?? kok suwe’ne” (darimana sih? kok lama sekali) kata Ayu,
“tekan Kota, belonjo keperluan kene” (dari kota)
Nur membuang muka melihat Widya, sudah biasa, kadang Nur memang seperti itu, setelah dia menceritakan kejadian kemarin, ia tidak lagi mau membicarakan itu, sekarang, dia sedikit menjauhi Widya, dan ia merasakan itu, sangat terasa.
Bima menggandeng Widya, menyuruhnya masuk rumah, “awakmu pegel kan” (kamu pasti capek kan)
tidak beberapa lama, Wahyu sudah datang, ia masuk ke rumah
“ra onok Deso maneh nang kene” (tidak ada desa lagi disini) kata Bima, Wahyu yang mendengar itu tidak terima.
“eroh tekan ndi awakmu” (tau darimana kamu)
“aku wes sering nang kota yu,”
“ngomong opo, mbujuk” (bicara apa, nipu) kata Wahyu geram.
“Mas” kata Nur, “pancen ra onok Deso maneh nang kene, kan wes tau di bahas” (Mas, memang gak ada lagi desa disini, kan sudah pernah di bahas dulu)
Widya yang sedari tadi diam, tiba-tiba di tarik oleh Wahyu. “takono ambek Widya nek ra percoyo”
Widya masih diam, lama, sementara yang lain menunggu Widya berbicara, hal yang membuat Widya bingung adalah, kopi.
sadar atau tidak, Widya sempat merasakan aroma kopi yang manis itu di jajanan yang ia cicipi, rasanya sama persis.
Semua orang melihat isi di dalam bingkisan itu, berlendir, dan aromanya sangat amis, tidak salah lagi, di dalam bingkisan itu adalah kepala monyet yang masih segar dengan darah di daun pisangnya.
kini, Widya sudah ada di depan pintu, mengetuknya, mengucap salam, dan kemudian melangkah masuk, dilihatnya ruang tengah, tempat biasa Ayu ada disana, menulis laporan, sayangnya-
di teras rumah pun sama, seharusnya Wahyu dan Anto ada disana, sedang bercanda seputar apa yang mereka lakukan hari ini di temani asap rokok dari mulut mereka, atau suara Nur yang sedang mengaji, dan Bima yang entah apa yang ia lakukan
entahlah. Widya bersiap masuk ke kamar, saat, sekelebat perasaan tak nyaman itu muncul.
sesuatu yang bukan lagi hal baru, ia harus memeriksanya.
Nur masih diam, matanya seperti mata orang yang kosong.
saat itulah, Widya melihat Nur menundukkan kepalanya dengan posisi duduk itu, seakan-akan ia tertidur di atas kursi kayunya. membuat Widya panik, mendekatinya.
namun, saat Widya mencoba pergi, tanganya sudah di cengkram sangat kuat.
Widya tidak menjawab sepatah katapun, suaranya mengingatkanya pada neneknya sendiri, benar-benar melengking.
“yo opo cah ayu, wes ngertos badarawuhi” (gimana anak cantik, sudah kenal sama penunggu disini)
Widya mulai menangis.
“cah lanang sing ngganteng iku ae wes kenal loh kale Badarawuhi” (anak ganteng itu saja sudah kenal sama dia)
“iling Nur iling” (sadar Nur sadar)
Nur tertawa semakin kencang, tertawanya benar-benar menyerupai tertawa yang membuat Widya diam takut.
“mbok pikir, nek gak onok aku, cah ndablek model koncomu sing gowo Bolo alus nang kene isok nyilokoi putu ‘ku, aku, sing jogo Nur sampe sak iki, ra tak umbar, Bolo alus nyedeki putuku. ngerti”
“cah ayu, kancamu siji bakal ra isok balik. nek awakmu rong sadar, opo sing bakal kedaden, tak ilingno, cah ganteng iku, bakal gowo ciloko, nyeret kabeh nang petoko nang deso iki”
setelah mengatakan itu, Nur teriak keras sekali, lalu jatuh terjerembap.
Nur bercerita saat di pondok, kalau sudah kudu menikmati sholatnya, biasanya sampai ketiduran.
“sejak kapan bisa lihat begituan?”
awalnya, Nur salah tingkah, tidak mau cerita, sampai ketika Widya menungguinya, Nur mengatakanya, sejak mondok, ia bisa melihatnya, karena memang harus
“awakmu onok sing jogo?” (kamu ada yang jaga?) tanya Widya.
“kok jarene” (kok katanya)
“aku ra tau ndelok Wid, aku di kandani kancaku sak durunge metu tekan pondok, jarene, sing jogo aku, wujud’e mbah dok, mbahku biyen)
setelah mendengar itu, Widya hanya mendengar Nur, bercerita tentang pengalamanya selama mondok, namun, Widya lebih memikirkan hal lain.
namun, satu kali, Widya pernah di kasih tahu warga, bila Sinden ini
katanya, Sinden ini dulu, sering di gunakan untuk mandi oleh dia. dia yang di bicarakan ini, tidak pernah di sebut warga, namun yang mencurigakan dari kasus ini adalah, nama Sinden ini, adalah Sinden kembar.
Sinden kembar. Widya selalu mengulangi kalimat itu.
alasan kenapa pak Prabu memasukkan ini menjadi proker adalah, agar air sungai dapat di alirkan ke Sinden ini, sehingga warga tidak perlu lagi jauh-jauh mengambil air ke sungai yang tanahnya terjal, namun, seperti ada yang ganjil
di malam itu juga, Widya ingat yang di katakan Wahyu, setiap malam, Bima pergi keluar rumah, entah apa yang di lakukanya.
Widya, sengaja begadang hanya untuk memastikan, dan ternyata benar, malam itu
Wahyu hanya menatap Widya keheranan,
“lha ya, ayo di tutno, nang ndi arek iku” (lha iya, makanya, ayo kita ikuti, kemana anak itu)
“gawe opo? paling nang omahe prabu, ndandani tong bambu’ne” (buat apa, palingan dia ke rumah prabu, memperbaiki tong-
“yo wes mboh” (ya sudah terserah)
Widya keluar dari kamar itu, kemudian ia pergi menyusul Bima, sendirian.
“heh, mbok pikir aku ra eroh wong onani iku yo opo?” (kamu pikir saya gak tau bagaimana cowok onani?)
Widya masih diam, mendengarkan penjelasan Anton.
(yang jadi masalahnya itu bukan Bima onani, semua cowok pasti pernah, aku gak munafik, masalahnya, ada suara perempuanya.??)
“suoro sopo sing tak rungokno lek ngunu?” (suara siapa dong yang ku dengar waktu itu)
“masalahe, aku wes sering krungu, mesti, onok suoro iku” (masalahnya, aku sudah sering dan selalu dengar suara itu)
Tipak Talas.
lalu, apa maksud penanda warna merah?
konon, dari seluruh tempat yang di beri penanda sebuah kain di desa ini, hanya gapura ini yang di beri kain warna merah, apalagi bila bukan simbol petaka
Malam sangat dingin, dingin sekali. hanya kabut di tengah kegelapan yg bisa Widya lihat, butuh perjuangan keras untuk sampai
jalanan ini, sepeti tidak berujung, namun, bila kembali, Widya tidak akan tahu apa yang dikerjakan Bima disini.
ya. suara yang familiar,
bukanya lari, Widya semakin menjadi-jadi
namun, yang Widya temui, adalah ujung Tipak talas, yaitu, sebuah tumbuhan yang di tanam tepat di jalan setapak.
tumbuhan itu, adalah tumbuhan beluntas.
di bawahnya, dia melihat Sanggar yang di ceritakan Ayu dulu, dan sanggarnya benar-benar berantakan.
disana, suara gamelan terdengar jelas sekali, seperti sumber suara gamelan itu ada di bangunan ini.
tepat ketika Widya menginjak anak tangga pertama, suara gamelan, berhenti, sunyi senyap
keheningan itu benar-benar menganggu Widya, kehadiranya seperti tidak di terima disini.
namun Widya memaksa untuk tetap melihat, dan saat itu, Widya mendengar seseorang menangis, suaranya familiar, seperti suara orang yang ia kenal.
Ayu.
Ayu tidak pernah sekalipun cerita apapun tentang desa ini, sesuatu yang ganjil yang menganggunya, sebaliknya, Ayu menentang semua yang tidak masuk akal di desa ini,
Widya melihat dari jauh, di bawah sanggar, ada sebuah gubuk, berpintu.
leher Widya perlahan semakin berat, dan berat.
melihat reaksi seperti itu, Widya berbalik dan lari pergi.
dari yang pendek, sampai yang tingginya setinggi pohon beringin. mereka memenuhi Sanggar dan sekitarnya, Widya mulai menangis.
Widya melihat, di depanya, ada yang sedang menari, tarianya hampir membuat semua yang ada disana melihatnya.
disana, Widya menyadari, yang menari itu Ayu,
Widya memanjat tempat itu, menangis sejadi-jadinya.
Widya keluar dari jalan setapak itu, ketika subuh, terlihat dari langit yang kebiruan.
seorang warga desa, kaget bukan main melihat Widya, dia langsung lari sambil berteriak memanggil warga kampung.
“Widya nang kene, iki Widya wes balik” (Widya disini, anaknya sudah kembali)
bingung, hampir warga berhamburan memeluk Widya.
“wes di goleki sampe Alas D********* jebule, maghrib kaet ketemu arek iki, aku wes mikir elek”
sehari semalam, Widya rupanya sudah menghilang.
Widya tidak menjawab apa yang pak Prabu tanyakan, si ibuk juga menenangkan pak Prabu agar tenang, sembari menggiring Widya masuk ke rumah, Widya mendengar Nur menjerit, menangis, seperti kesetanan.
“onok opo iki Nur?” (ada Apa ini Nur)
Nur menutup mulutnya, tidak tau harus memulai darimana, sampai Wahyu berdiri, “Ayu Wid, Nur lihat Ayu, tiba-tiba terbujur kaku, matanya tidak bisa di tutup”
“sini ndok, Mbah jek tas gawe kopi” (sini nak, si mbah baru saja selesai membuat kopi)
mbah Buyut, duduk di kursi kayu yang ada di pawon, ia melihat Widya lama, kemudian mengatakanya. “Koncomu wes kelewatan”
“yo opo rasane di kerubungi demit sa’alas?” (bagaimana rasanya di kelilingi makhluk halus satu hutan?)
Mbah Buyut masih mengaduk kopinya, memandang Widya yang tampak mulai kembali kesadaranya, “nyoh, di ombe sek” (nih, di minum dulu)
“paham ndok” (paham nak)
Widya mengangguk.
“eroh opo iku sinden?” (tahu kegunaan Sinden?)
“Sinden ku, enggon adus’e poro penari sak durunge tampil. nah, Sinden sing cidek kali, gak popo di garap, tapi, sinden sing sijine, ra oleh di parani, opo maneh sampe di gawe kelon”
Widya diam lama, sebelum mengatakanya. “Ular mbah”
“nggih. betul” “sing mok delok iku, ulo-anak’e Bima karo” (yg kamu lihat itu, adalah anaknya Bima sama)
“Ular itu mbah”
mbah buyut mengangguk
mbah Buyut diam lama, seperti tidak mau menyebut nama makhluk itu. ”
“ngantos, yo nopo mbah, Ayu kale bima saget mbalik?” (lalu bagaimana mbah, apa Ayu sama Bima bisa kembali?)
“isok isok” kata mbah Buyut, “sampe balak’e di angkat”
“Bima ambek Ayu wes kelewatan, sak iki, kudu nanggung opo sing di lakoni” (Bima sama Ayu sudah kelewatan, sekarang, dia harus menanggung apa yang dia perbuat)
“Ayu sak iki, kudu nari, keliling Alas iki)
“sak angkule nari, sadalan-sadalan” (tampil, menari, di setiap jengkal tanah ini)
“Bima mbah?”
“Bima, yo kudu ngawini sing nduwe Sinden” (Bima ya harus mengawini yang punya Sinden)
“Badarawuhi mbah”
Mbah buyut kaget.
“Badarawuhi, iku salah sijine sing jogo wilayah iki, tugas Badarawuhi iku nari, dadi bangsa lelembut iku yo seneng ndelok Badarawuhi iki nari, nah, sak iki, Ayu kudu nanggung tugas Badarawuhi nari”
“Bima, kudu ngawini Badarawuhi, anak’e iku wujud’e ulo, sekali ngelahirno, isok lahir ewonan ulo”
“salah kancamu, wes ngelakoni hal gendeng nang kunu, dadi kudu nanggung akibate” (salah temanmu sendiri, jadi sekarang mereka harus tanggung jawab)
“Goblok!! Bima karo Ayu asu!! kakean ngent*t!!” (bodoh!! Bima sama Ayu itu Anj*ng!! kebanyakan ngent*t)
kaimat itu, yang mereka semua pikirkan malam itu.
Pagi itu, serombongan mobil datang, mereka adalah keluarga sekaligus panitia KKN yang sudah mendengar semua ceritanya dari pak Prabu.
Ayu masih terbaring, matanya melotot, namun tubuhnya masih seperti orang lumpuh.
Bima, masih kejang2
soal mobil, gw gak paham. intinya mereka di jemput paksa, KKN mereka di coret, gw bakal lanjutin akhir ceritanya saja ya, sama yang bersangkutan. di selesaiin saja malam ini, biar gw bisa fokus kerja. lagi. tapi serius pengen lihat foto mereka?
bahkan pihak kampus juga kena, karena kasusnya benar-benar hampir di bawa ke media nasional,
bagaimana?? meninggal juga, Malam sebelum dia meninggal, Bima teriak minta tolong, tapi ketika ditanya, kenapa dan minta tolong apa?
Bima berteriak ular, ular, ular, ia meninggal lebih dulu dari Ayu, tubuhnya di kebumikan, orang tuanya awalnya masih mau memperpanjang-
untuk peserta KKN nya pun sebenarnya bukan 6 orang, tapi 14 orang, gw perpendek untuk mempersingkat cerita beliau yang saling berkaitan satu sama lain
memang benar, manusia itu merasa besar, padahal sesungguhnya ada kebesaran lain yang membuat manusia gak ada apa-apanya di balik kalimat kecil, dimanapun kalian berada, junjung tata krama-
gw simple_Man undur diri, untuk waktu yang tidak di tentukan.
(kalau yang bersangkutan memperbolehkan post fotonya, akan gw post kok nanti) sampai jumpa. #bacahorror
KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: dukunku.com
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)